Sejarah Kerudung/Hijab/Jilbab dan Perkembanganya Perspektif Pembacaan Perkembangan Budaya Materi
Kerudung/Hijab/Jilbab
menjadi salah satu budaya materi yang mengalami perkembangan yang cukup
signifikan dalam konteks cara pandang si pembuat dan pemakainya, dan
berakibat pada perubahan makna dan model Kerudung/Hijab/Jilbab itu
sendiri. Sehingga menurut hemat penulis dengan Kerudung/Hijab/Jilbab itu
sendiri akan cukup menjelaskan cara pandang masyarakat pendukung budaya
Kerudung/Hijab/Jilbab ini.
Sejarah dan Perkembangan Kerudung/Hijab/Jilbab
Kerudung/Hijab/Jilbab awalnya adalah sebuah benda yang kemunculanya
akibat dari dorongan syaraiat, artinya munculnya ide budaya materi
Kerudung/Hijab/Jilbab adalah berasal dari hukum Alloh yang jelas, sudah
diberi definisi dan ketentuan apa yang dimaksud, dan dalam kadar seperti
apa sesuatu bisa disebut sebagai sebuah Kerudung/Hijab/Jilbab (
Al ~ Qur’an surat An – Nur (24): 31). Sehingga
manusia tinggal memahami kemudian mewujudkanya. Dalam konteks ini,
penulis menafsirkan awalnya Kerudung/Hijab/Jilbab masih sebatas sebagai
fungsi teknis, artinya baru sebatas sebagai sebuah benda yang memiliki
fungsi untuk menutupi bagian tubuh yang dilarang untuk dilihat oleh
orang lain, untuk menghindari maksiat bagi yang melihat(
Al ~ Qur’an surat Al – Ahzab (33): 59).
Kemudian fungsi Kerudung/Hijab/Jilbab tidak hanya sebatas sebagai
fungsi teknis saja. Karena dalil tidak sebatas itu dalam memerintah,
akan tetapi Kerudung/Hijab/Jilbab juga sebagai sebuah identitas bagi si
pemakainya. akibatnya masyarakat Arap yang memakai Kerudung/Hijab/Jilbab
sesuai syariat memiliki identitas sosial baru, yaitu sebagai seorang
wanita muslim yang dihormati dan lelaki segan dan tidak menggangu,
demikianlah catatan sejarah berkata. Sehingga jika Kerudung/Hijab/Jilbab
dikaitkan sebagai sebuah identitas sosial kaitanya dengan keagamaan,
maka pembacaan Kerudung/Hijab/Jilbab berkembang lagi, tidak hanya
sebatas teknofak, dan sosiofak akan tetapi fungsi ideofak otomatis juga
melekat karena Kerudung/Hijab/Jilbab adalah bagian dari syariat agama
islam, yang tak lain islam sebagai sebuah ideologi bagi sebagaian
manusia dimuka bumi ini.
Abad ke 7 adalah abad dimana awal perintah berkerudung/berhijab,
dalam konteks abad ke 7 di semenanjung Arabia, kondisi sosial masyarakat
jauh dari pengaruh peradaban dua imperium besar yaitu Romawi dan
Persia.(lihat: sejarah Muhammad, M Husein Haekal) Hal ini sebagai dampak
dari geomorfologi Arab yang terpencil dan terkukung dari pegunungan dan
padang pasir, hal ini berdampak pada pengaruh budaya yang cukup kecil
terjadi, sehingga apa yang dikembangkan oleh masyarakat masih sesuai
dengan doktrin yang ada di lingkungan masyarakat Arab.
Kerudung/Hijab/Jilbab sebagai sebuah hasil pemahaman atas dalil agama
juga belum mengalami perubahan akibat pengaruh dua pusat kebudayaan dan
masih sesuai dengan makna, dan ketentuanya, yang dimaksud disini sesuai
dengan dalil adalah Kerudung/Hijab/Jilbab berarti: kain penutup kepala
sehingga kain menjulur hingga dada. Hal ini dapat ditarik sebuah
pengetian bahwa masyarakat pendukung kebudayaan Kerudung/Hijab/Jilbab
pada awalnya masih memegang teguh ketentuan-ketentuan dalil tentang
Kerudung/Hijab/Jilbab, dan belum terfikirkan untuk merubah makna
Kerudung/Hijab/Jilbab. Pasca islam pada abad ke 9-12 mengalami
perkembangan dan persebaran mengalami akulturasi dengan kebudayaan
lainya, misalnya di sebagaian Negara timur-tengah berkembang model
Kerudung/Hijab/Jilbab dengan cadar, burqa, niqop, dan masker, kemudian
berkembang pula di Nusantara atau Melayu abad 19 Kerudung/Hijab/Jilbab
selendang yang tidak menutupi penuh kepala, dan hanya di selampirkan. di
kawasan timur juga berkembang Kerudung/Hijab/Jilbab dengan motif hiasan
tertentu sesuai dengan konteks lingkunganya, tidak sebatas polos tanpa
motif, dan lain sebagainya. Hal ini menggambarkan bahwa ada sebuah
perkembangan dalam berupaya untuk menafsiakan Kerudung/Hijab/Jilbab.
Faktorya tentu banyak, hal ini terkait dengan kondisi sosial budaya,
lingkungan, dan pemahaman atas dalil agama.
Singkatnya dalam konteks kondisi sosial-budaya misalnya: pendapat
yang masih menjadi perdebatan para ahli, bahwa khusunya di Jawa pada
abad 19, masih sedikit masyarakat yang memakai Kerudung/Hijab/Jilbab
sesuai ketentuan dalil, hanya sebatas selendang yang diselampirkan di
kepala, hal ini sebagaian berpendapat bahwa, hal ini sebagai dampak pola
penyebaran agama islam yang dilakukan oleh Wali Songo, yang sangat
toleran dengan budaya lokal, sehingga pada waktu itu Wali Songo baru
menyampaikan masalah Teologis belum sampai pada masalah fiqih
Kerudung/Hijab/Jilbab, karena menyadari bahwa hal ini akan merubah
budaya berpakaian masyarakat jawa yang sangat mencolok. Contoh lain
dalam konteks kondisi lingkungan alam: misalnya pada masyarakat di
Melayu, yang memakai Kerudung/Hijab/Jilbab dengan bahan dan motif yang
lebih variatif, hal ini menggambarkan kondisi bahan baku
Kerudung/Hijab/Jilbab, yang sesuai dengan kondisi sumber daya alam
masyarakat pendukungnya. Dan contoh yang terakhir adalah perubahan
Kerudung/Hijab/Jilbab karena pemahaman dalil agama yang menyebabkan
berubahanya Kerudung/Hijab/Jilbab. Misalnya saja Cadar yang masih
menjadi perdebatan para ulama dalam hal keharusanya memakai.
Dari semua proses dari awal pemahaman manusia atas dalil agama yang
menyebutkan keharusan berkerudung/berhijab, hingga abad selanjutnya
dalam proses perubahan Kerudung/Hijab/Jilbab dapat dimaknai bahwa
manusia pendukung budaya materi Kerudung/Hijab/Jilbab memiliki pola
fikir pada dimensi Kerudung/Hijab/Jilbab sebagai sebuah benda materi
sacral, karena ini adalah perintah Alloh, sehingga tidak ada inovasi
yang berarti, jika ada hal ini disebabkan karena factor-faktor yang
sebenarnya bukan melenceng dari anggapan kesakralan itu sendiri, ini
hanya terkait dengan factor teknis saja, belum beranjak pada masalah
pergeseran ideologi.
Memaknai Fenomena Perubahan Budaya Materi: Kerudung/Hijab/Jilbab Kreatif
Yang dimaksud Kerudung/Hijab/Jilbab Kreatif dalam hal ini adalah
sebuah Kerudung/Hijab/Jilbab yang penulis anggap hilang dari sisi
nilai-nilai ideologis sebagai dasar kemunculnya, dan bergeser yang lebih
menonjol pada sisi gaya hidup atau sebuah mode. Sehingga
Kerudung/Hijab/Jilbab disini mengalami pergeseran makna, dari sacral
menjadi profane. Kerudung/Hijab/Jilbab kreatif hari ini juga telah
menjadi symbol-simbol lapisan sosial, tentusaja maksud penulis bukan
sebatas symbol lapisan sosial dalam kontek antara agama, seperti pada
permulaan munculnya Kerudung/Hijab/Jilbab itu sendiri, akan tetapi
sebagai sebuah symbol lapisan sosial dalam kontek klasifikasi tingkatan
ekonomi. Selanjutnya penulis juga menemukan sebuah fenomena yang cukup
menarik bahwa fenomena Kerudung/Hijab/Jilbab kreatif telah menarik
segelintir orang untuk mengapresiasi melalui sebuah perkumpulan yang
dipersatukan atas dasar budaya materi ini. Ternyata hobi, kegemaran dan
bisnis memakai Kerudung/Hijab/Jilbab ini mengispirasikan sekelompok
wanita untuk mendirikan sejumlah situs untuk mempromosikan dan kemudian
mempunyai basis massa dan visi-missi tertentu.
Kemudian munculnya Kerudung/Hijab/Jilbab kreatif juga menumbuhkan
sebuah klasifikasi yang baru, hal ini sebuah fenomena yang biasa dalam
konteks zaman sekarang. Misalnya kita berangkat dari sebuah contoh, agar
mudah menggambarkan hal ini. Lagam atau model pada budaya materi celana
jeans misalnya, tahun 70-an umum telah berkembang model calana jeans
cutbrai, baru pada tahun 90-an model ini sempat menghilang, dan kembali
muncul tahun 2007. Kemudian model ini tahun 2010 menghilang karena model
celana jeans pensil. Gaya celana pensil ini secara otomatis akan
menganeliasi gaya cutbraiy, sehingga jika ada remaja yang masih memakai
celana jeans cutbraiy saat ini dalam perspektif klasifikasi fashions dia
akan masuk pada golongan mode kuna. Hal ini terjadi secara otomatis,
sehingga celana pensil dalam waktu sekejap menjamur dan dipakai segala
lapisan masyarakat yang selalu tidak mau ketinggalan mode. Nampaknya
begitu juga dengan Kerudung/Hijab/Jilbab ini. Kerudung/Hijab/Jilbab ini
mulai menjamur,apalagi dengan dukungan media massa dan elektronik,
Kerudung/Hijab/Jilbab ini siap-siap akan menjadi pusat perhatian baru,
sehingga masyarakat akan banyak memburu model ini. Dalam perkembangan
waktu seperti yang berlaku pada celana jeans, bahwa jika masih ada yang
menggunakan Kerudung/Hijab/Jilbab “formal” maka secara otomatis dia akan
masuk dalam klasifikasi gaya era masa lalu, tentu hal ini melalui
kacamata masyarakat pengagum mode.
Kemunculan mode ini memang tidak datang sesederhana seperti apa yang
kita banyangkan. Kemunculan ini tentu melalui beberapa fase dan
kepentingan. Ada beberapa tahapan yang penulis jabarkan disini tentu
dalam kontek Indonesia.
Pertama: bahwa munculnya
Kerudung/Hijab/Jilbab yang marak di Indonesia baru muncul pasca
tumbangnya rezim Orde Baru. Pada waktu itu ditandai dengan munculnya
kerudungisasi dikalangan masyarakat kampus. Orde Baru adalah dimana
Kerudung/Hijab/Jilbab menjadi sebuah hal yang masih awam untuk dipakai.
Hal ini memang sangat terkait dengan situasi politik dan budaya pada
masa itu. Peperangan yang panjang pasca kemerdekaan, sampai kondisi
pemerintah yang antipati terhadap gerakan ekstrimis kanan yang
terwakilkan oleh gerakan DII dan Negara Islam Indonesia hingga terakhir
tragedi Tanjung Priok berdampak pada pengamalan agama islam. Selain itu
juga kebijakan pemerintah yang cukup represif terhadap pengawasan
kegiatan pengamalan agama dan siar islam yang dilakukan sejumlah
organisasi islam juga berdampak pada sosialisasi atas
Kerudung/Hijab/Jilbab ini, sehingga dampaknya sangat terlihat pada masa
Orde Baru sedikit muslimah yang memakai Kerudung/Hijab/Jilbab.
Kedua:
era tahun 90-an, pemerintah cukup mulai memperhatikan kehidupan
beragama. Hal ini sebagai sebuah dampak dari kehidupan pribadi Soeharto
yang sudah mulai berusia lanjut. Religiusitas Soeharto meningkat
ditandai dengan berangkatnya haji dan umroh yang selalu dipertontonkan
melalui media, hal ini dampaknya cukup bagus, kelonggaran beragama mulai
ditunjukan dengan beberapa surat keputusan presiden yang dikeluarkan.
Ketiga: pasca reformasi ada sekolompok masyarakat yang
menginginkan kehidupan islami di setiap lini aktivitas, dan juga
dibarengi dengan kebebasan berekspresi, hal ini semakin mempermudah
segala aktivitas hidup sesuai dengan ideologi masing-masing.
Keempat:
kemudian fase yang terakhir inilah yang menyuburkan symbol-simbol agama
dipakai dalam kehidupan, termasuk Kerudung/Hijab/Jilbab. Sebuah catatan
yang penulis tekankan adalah pada awalnya masyarakat belum berfikiran
akan memodifikasi gaya Kerudung/Hijab/Jilbab mereka. hal ini tentu saja
dapat dipahami bahwasanya, masyarakat baru belajar memakai simbol baru
yang sebenarnya sudah lama dikenal, dampaknya adalah normative, dan
masih sesuai dengan ketentuan yang selaras dengan dalil.
Fase selanjutnya memang Kerudung/Hijab/Jilbab menjadi trend
masyarakat muslimah indonesia. hal ini mendorong pula dimunculkanya
aturan-atruran yang melegalkan Kerudung/Hijab/Jilbab, terutama di
instansi-instansi islam yang sebagai lembaga pendukung kebudayaan ini.
Dampaknya massive Kerudung/Hijab/Jilbab menjadi hal yang biasa atau
lumrah pada perkembangan selanjutnya. Kelumprahan inilah sebenarnya akar
dari sebuah upaya desakralisasi Kerudung/Hijab/Jilbab itu sendiri,
ditambah penekanan pada esensi kewajiban berkerudung bagi seorang
muslimah mulai ditinggalkan, dan hanya sebatas peraturan berkerudung
yang diberlakukan, terutama untuk sekolah islam. Tentu saja hal ini
tidak mewadahi jikalau muncul sebuah apologistik, terhadap esensi
berkerudung.
Kepentingan Pasar Sebagai Pengaruh
Pasar adalah kekuatan yang selalu mendorong sebuh perubahan
kebudayaan. Kepentingan pasar tidak akan toleran terhadap nilai-nilai
dan batas norma tertentu. Karena dalam kacamata kepentingan pasar,
keuntungan adalah segalanya. Jikalau keuntungan itu harus diupayakan
dengan menerobos batas-batas kemanusiaan, bukanlah menjadi persoalan.
Perspektif ini akan terus berlaku terutama bagi dunia moderen yang
menitik beratkan pada financial sebagai tolok ukur suatu keberhasilan
kehidupan. Sehingga banyak orang yang berusaha mengupayakanya hingga
titik darah penghabisan.
Sejumlah produsen pasca menjamurnya pemakai Kerudung/Hijab/Jilbab,
sangat menyadari sebuah peluang keuntungan dari adanya trend ini. Hal
ini tentu memacu munculnya kreativitas untuk menghasilkan sebuah produk
yang mampu menarik konsumen lebih banyak. Inovasi-inovasi mulai dari
Kerudung/Hijab/Jilbab yang praktis dipakai, indah dengan berbagai
aksesorisnya, dan berbahan kain tertentu yang semuanya memanjakan bagi
pemakainya, menjadi trend selanjutnya. Menurut salah satu produsen
Kerudung/Hijab/Jilbab diindonesia yang dikutip dari republika co.id
menuturkan bahwa: pengaruh televisi dan media massa lain menyebabkan
beragamnya pilihan gaya busana keseharian. Meski tetap patuh pada pakem,
setiap Muslimah lebih berani mengeksplorasi gaya dengan tampilan
berbeda dengan busana muslim sesuai karakter personal. Menurut ia
Aplikasi Kerudung/Hijab/Jilbab juga tak ketinggalan. Prinsipnya, kaidah
berbusana Muslim tetap dijalankan, namun perempuan masih bisa
bereksplorasi dengan Kerudung/Hijab/Jilbabnya, kata dia. Selama ini,
busana Muslim tidak lagi identik dengan kesan feminin. Sekarang ini,
mulai bermunculan jilbab bergaya sporty. Adapula, jilbab bergaya Hoodie,
yakni jilbab dengan penutup kepala namun menutupi bagian dada dengan
detail mengkerut sehingga sehingga tidak perlu lagi mengenakan kalung
atau rantai.
Kemudian dalam beberapa episode pembiritaan dalam republika
disebutkan bahwa beberapa komunitas jilbab telah menjamur, motif mereka
sebenarnya adalah keprihatinan akan kondisi pasar jilbab yang dikuasai
oleh pasar asing seperti cina dan timur tengah. Atas keprihatinanya
tersebut mereka berusaha menciptakan produk mandiri untuk memenuhi pasar
dalam negeri. Meskipun gaya masih banyak mengadopsi gaya luar. Adapun
contoh komunitas yang sekaligus menjadi nama situs internet adalah Hij
Up, dan Jilbab Cantik. Sekarang telah ada berpuluh-puluh gaya jilbab
contohnya: Chrysant, Rose, Orchid, Jasmine, Sakura dan Tulip, Daisy dan
Violet. Selain bisnis, mereka mempunyai alasan untuk mesosialisaikan
jilbab kepada masyarakat yang belum memakainya. Sengan cara
mengembangkan model diharapkan masyarakat semakin mencintai jilbab.
Dalih untuk menciptakan gaya untuk menambah kesan
Kerudung/Hijab/Jilbab mampu menampung aspirasi bagi setiap individu si
pemakainya menjadi salah satu alasan yang berkembang saat ini.
Sebenarnya jika kita berfikir positif tentu hal ini sah-sah saja. Jika
benar dan konsisten apa yang dikatakan oleh produsen tadi bahwa tanpa
melanggar koridor hukum, atau kaidah Kerudung/Hijab/Jilbab, jangan
sampai gaya mengorbankan esensi Kerudung/Hijab/Jilbab. sebenarnya
Kerudung/Hijab/Jilbab kreatif tidaklah buruk dampak kemunculanya.
Alasanya hal ini akan meningkatkan minat para muslimah untuk memakai
Kerudung/Hijab/Jilbab. Selain itu dengan adanya banyak pilihan model
Kerudung/Hijab/Jilbab, muslimah yang belum memakainya akan lebih
tertarik.
Hal yang disayangkan adalah penekanan akan Kerudung/Hijab/Jilbab
kreatif hanya berhenti pada wilayah fashion atau gaya saja. Sehingga
nilai-nilai atau esensi akan Kerudung/Hijab/Jilbab itu sendiri tidak
diketahui oleh pemakainya. Memang penulis akui bahwa hal ini bukan
tugasnya para produsen, terlebih bagi produsen yang hanya mengejar
keuntungan. Akan tetapi setidaknya jika memang ada sejumlah produsen
yang peduli akan hal ini, tentusaja seharusnya produsen akan berimbang
dalam memproduksi Kerudung/Hijab/Jilbab yaitu antara kreatifitas dan
sesuai dengan koridor berkerudung/berhiijab yang benar. Tentu saja hal
ini juga bagi para pemakainya. Jika para pemakai menganggap bahwa
Kerudung/Hijab/Jilbab adalah bagian dari perintah agama yang tentu saja
sacral dan tidak boleh di modifikasi yang mengarah pada pelanggaran akan
pakem dalil, maka seharusnya para pemakai harus sadar bahwa
Kerudung/Hijab/Jilbab dengan gaya yang tidak sesuai seharusnya jangan
dibeli atau dipakai.
Lahirnya komunitas pecina Kerudung/Hijab/Jilbab kreatif setidaknya
juga ikut mensosialisasikan bagaimana Kerudung/Hijab/Jilbab yang
normative itu. Kalaupun mereka ingin menciptakan model atau gaya yang
baru, hendaknya itu harus dibarengi dengan penjelasan-penjelasan atau
batasan-batasannya. Sehingga peran komunitas ini tidak sebatas pada
sosialisasi trens masa kini, akan tetapi juga flashback pada masa lampau
tentang hakekat Kerudung/Hijab/Jilbab itu di syariatkan.
Kesimpulan
Dari fenomena perubahan budaya materi Kerudung/Hijab/Jilbab tersebut
penulis akan berusaha menyimpulkan bahwasanya ada beberapa hal yang
ditekankan disini. Yang pertama adalah terdapat perkembangan gaya dalam
budaya materi ini, hal ini menandakan bahwa proses transformasi
nilai-nilai atau pemaknaan akan budaya materi ini tidak sepenuhnya
tersampaikan. Hal ini diakibatkan oleh beberapa factor budaya, sosial,
politik dan lain sebagainya yang menunjukan proses yang sangat panjang
perubahanya. Pada tahap perkembangan akhir pada Kerudung/Hijab/Jilbab
kreatif ada beberapa hal yang dapat dibaca bahwa telah terjadi
penyimpangan pemahaman terhadap esensi pemakianya. Sehingga tahap awal
Kerudung/Hijab/Jilbab yang masih dalam dimensi ekofak, sosialfak dan
ideofak, berkembang pula pada salah satu penekananya yaitu sosialfak.
Artinya penekanan Kerudung/Hijab/Jilbab hanya pada wilayah atribut
sosial atau penanda status sosial yang mempertegas perbedaan sosial si
pemakainya. Hal ini jauh menyimpang dari hakekat makna
Kerudung/Hijab/Jilbab sebenarnya.